Sesungguhnya Dia maha mengetahui segala isi hati. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui, padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ? (QS 13:14)

Rabu, 27 April 2011

DAHSYATNYA WUDHU

Rosulullah saw bersabda, "Apabila seorang hamba muslim atau mukmin wudhu, lalu ia membasuh mukanya, maka keluar dari wajahnya semua dosa yg terlihat oleh pandangan matanya bersama tetesan air, atau bersama tetesan air yg terakhir. Apabila ia membasuh kedua tangannya maka keluar dari kedua tangannya semua dosa yg dikerjakan oleh kedua tangannya bersama tetesan air, atau bersama tetesan air yg terakhir hingga keluar bersih dari dosa-dosanya. Dan apabila dia membasuh kedua kakinya maka keluarlah semua dosa yg dikerjakan oleh kedua kakinya bersama siraman air atau bersama tetesan terakhir hingga keluar bersih dari dosa-dosa" (HR muslim)

IT'S ABOUT OF LOVE

Cinta kepada Allah itu laksana api apapun yang dilewatinya akan terbakar.

Cinta kepada Allah itu laksana cahaya apapun yang dikenainya akan bersinar.

Cinta kepada Allah itu langit apapun yang dibawahnya akan ditutupnya.

Cinta kepada Allah itu laksana angin apapun yang ditiupnya akan digerakkannya.

Cinta kepada Allah itu laksana air dengannya Allah menghidupkan segalanya.

Cinta kepada Allah itu laksana bumi dari situ Allah menumbuhkan segalanya.

Kepada siapa yang mencintai Allah, Dia berikan kekuasaan dan kekayaan. (Imam Ali).

ORANG-ORANG YANG MENDAPAT DOA MALAIKAT

Allah SWT berfirman, "Sebenarnya (malaikat - malaikat itu) adalah hamba - hamba yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah - perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberikan syafa'at melainkan kepada orang - orang yang diredhai Allah, dan mereka selalu berhati - hati kerana takut kepada-Nya" (QS Al Anbiyaa' 26-28)

Berikut adalah senarai orang - orang yang mendapat doa oleh para malaikat :

1. ORANG YANG TIDUR DALAM KEADAAN BERSUCI.
Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahawa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa 'Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan kerana tidur dalam keadaan suci'" (Hadith ini disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Sahih At Targhib wat Tarhib I/37)

2. ORANG YANG MENUNGGU SOLAT.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahawa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah salah seorang di antara kamu yang duduk menunggu solat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya 'Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia" (Sahih Muslim no. 469)

3. ORANG YANG BERADA DI SAF HADAPAN KETIKA SOLAT.
Imam Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dari Barra' bin 'Azib ra., bahawa Rasulullah SAW telah bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat kepada orang - orang yang berada pada saf - saf terhadapan" (Hadith ini disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Sahih Sunan Abi Dawud I/130)

4. ORANG YANG MENYAMBUNG SAF (tidak membiarkan kekosongan di dalam saf).
Para Imam iaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., bahawa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu berselawat kepada orang - orang yang menyambung saf - saf" (Hadith ini disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Sahih At Targhib wat Tarhib I/272)

5. KETIKA SEORANG IMAM SELESAI MEMBACA AL FATIHAH.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahawa Rasulullah SAW bersabda, "Jika seorang Imam membaca 'ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalinn', maka ucapkanlah oleh kalian 'aamiin', kerana barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang lalu" (Sahih Bukhari no. 782)

6. ORANG YANG DUDUK DI TEMPAT SOLATNYA SETELAH MELAKUKAN SOLAT.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahawa Rasulullah SAW bersabda, " Para malaikat akan selalu berselawat kepada salah satu di antara kalian selama ia ada di tempat solat di mana ia melakukan solat, selama ia belum batal wudhu'nya, (para malaikat) berkata, 'Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia'" (Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir mensahihkan hadith ini)



http://forum.asyraaf.net/viewthread.php?tid=841&extra=page%3D3 

KEAJAIBAN DOA

Do’a Ummu Salamah

Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan:

“Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un. Allahumma'jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa"
Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik.

Maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.

Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do'a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.( HR. Muslim no 918 )

Do’a Ummu Salamah bisa dikabulkan dengan diberi suami seperti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini menunjukkan ajaibnya do’a.

TUJUH LATHIFAH SIMPUL BATHIN

Dan 7 titik batin yang kita sebut dengan lathifah, yaitu:

1. Latifatul-qolby
Di sini letaknya sifat-sifat syetan, iblis, kekufuran, kemusyrikan, ketahayulan dan lain-lain, letaknya dua jari dibawah susu sebelah kiri, Kita buat dzikir sebanyak-banyaknya, Insya Allah pada tingkat ini diganti dengan Iman, Islam, Ihsan, Tauhid dan Ma’rifat.

2. Latifatul-roh
Di sini letaknya sifat bahimiyah (binatang jinak) menuruti hawa nafsu, , letaknya dua jari dibawah susu sebelah kanan, Kita buat dzikir sebanyak-banyaknya Insya Allah di isi dengan khusyu’ dan tawadhu’.

3. Latifatus-sirri
Di sini letaknya sifat-sifat syabiyah (binatang buas) yaitu sifat zalim atau aniaya, pemarah dan pendendam, , letaknya dua jari diatas susu sebelah kiri, Kita buat dzikir sebanyak-banyaknya Insya Allah diganti dengan sifat kasih sayang dan ramah tamah.

4. Latifatul-khafi
Di sini letaknya sifat-sifat pendengki, khianat dan sifat-sifat syaitoniyah, , letaknya dua jari diatas susu sebelah kanan, Kita buat dzikir sebanyak-banyaknya Insya Allah diganti dengan sifat-sifat syukur dan sabar.

5. Latifatul-akhfa
Di sini letaknya sifat-sifat robbaniyah yaitu riya’, takabbur, ujub, suma’ dan lain-lain, , letaknya ditengah- tengah dada, Kita buat dzikir sebanyak-banyaknya Insya Allah diganti dengan sifat-sifat ikhlas, khusyu’, tadarru dan tafakur.

6. Latifatun-nafsun-natiqo
Di sini letaknya sifat-sifat nafsu amarrah banyak khayalan dan panjang angan-angan, , letaknya tepat diantara dua kening, Kita buat dzikir sebanyak-banyaknya Insya Allah diganti dengan sifat-sifat tenteram dan pikiran tenang.

7. Latifah kullu-jasad
Di sini letaknya sifat-sifat jahil “ghaflah” kebendaan dan kelalaian, , letaknya diseluruh tubuh mengendarai semua aliran darah kita yang letak titik pusatnya di tepat ditengah-tengah ubun-ubun kepala kita, Kita buat dzikir sebanyak-banyaknya Insya Allah diganti dengan sifat-sifat ilmu dan amal

Mengenal Lathifah-lathifah Batin dalam Thariqat Sufi

Acuan dalam pengamalan tarekat bertumpu kepada tradisi dan akhlak nubuwah (kenabian), dan mencakup secara esensial tentang jalan sufi dalam melewati maqomat dan ahwal tertentu. Setelah ia tersucikan jasmaniahnya, kemudian melangkah kepada aktivitasaktivitas, yang meliputi:

Pertama, tazkiyah an nafs atau pensucian jiwa, artinya mensucikan diri dari berbagai kecenderungan buruk, tercela,dan hewani serta menghiasinya dengan sifat sifat terpuji dan malakuti.

Kedua, tashfiyah al qalb, pensucian kalbu. Ini berarti menghapus dari hati kecintaan akan kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara dan kekhawatirannya atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya kecintaan kepada Allah semata.

Ketiga, takhalliyah as Sirr atau pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang bakal mengalihkan perhatian dari dzikir atau ingat kepada Allah.

Keempat, tajalliyah ar Ruh atau pencerahan ruh, berarti mengisi ruh dengan cahaya Allah dan gelora cintanya.

Qasrun = Merupakan unsur jasmaniah, berarti istana yang menunjukan betapa keunikan struktur tubuh manusia.
Sadrun = (Latifah al-nafs) sebagai unsur jiwa
Qalbun = (Latifah al-qalb) sebagai unsur rohaniah
Fuadun = (Latifah al-ruh) Unsur rohaniah
Syagafun = (Latifah al-sirr) unsur rohaniah
Lubbun = (Latifah al-khafi) unsur rohaniah
Sirrun = (Latifah al-akhfa) unsur rohaniah

Hal ini relevan dengan firman Allah SWT dalam hadist qudsi:

"Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terialu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada "Aku".
Ahmad al-Shirhindi dalam Kharisudin memaknai hadist qudsi di atas melalui sistem interiorisasi dalam diri manusia yang strukturnya yang dapat diperhatikan dalam gambar di atas.

Pada dasarnya lathifah-lathifah tersebut berasal dari alam amri (perintah) Allah : "Kun fayakun", yang artinya, "jadi maka jadilah" (QS : 36: 82) merupakan al-ruh yang bersifat immaterial. Semua yang berasal dari alam al-khalqi (alam ciptaan) bersifat material. Karena qudrat dan iradat Allah ketika Allah telah menjadikan badan jasmaniah manusia, selanjutnya Allah menitipkan kelima lathifah tersebut ke dalam badan jasmani manusia dengan keterikatan yang sangat kuat.
Lathifah-lathifah itulah yang mengendalikan kehidupan batiniah seseorang, maka tempatnya ada di dalam badan manusia. Lathifah ini pada tahapan selanjutnya merupakan istilah praktis yang berkonotasi tempat.

Umpamanya lathifah al-nafsi sebagai tempatnya al-nafsu al-amarah. Lathifah al-qalbi sebagai tempatnya nafsu al- lawamah. Lathifah al-Ruhi sebagai tempatnya al-nafsu al-mulhimmah, dan seterusnya. Dengan kata lain bertempatnya lathifah yang bersifat immaterial ke dalam badan jasmani manusia adalah sepenuhnya karena kuasa Allah.
Lathifah sebagai kendaraan media bagi ruh bereksistensi dalam diri manusia yang bersifat barzakhiyah (keadaan antara kehidupan jasmaniah dan rohaniah).

Pada hakekatnya penciptaan ruh manusia (lima lathifah), tidak melalui sistem evolusi. Ruh ditiupkan oleh Allah ke dalam jasad manusia melalui proses. Ketika jasad Nabi Adam a.s telah tercipta dengan sempurna, maka Allah memerintahkan ruh Nya untuk memasuki jasad Nabi Adam a.s. Maka dengan enggan ia menerima perintah tersebut. Ruh memasuki jasad dengan berat hati karena harus masuk ke tempat yang gelap. Akhirnya ruh mendapat sabda Allah: "Jika seandainya kamu mau masuk dengan senang, maka kamu nanti juga akan keluar dengan mudah dan senang, tetapi bila kamu masuk dengan paksa, maka kamupun akan keluar dengan terpaksa". Ruh memasuki melalui ubun-ubun, kemudian turun sampai ke batas mata, selanjutnya sampai ke hidung, mulut, dan seterusnya sampai ke ujung jari kaki. Setiap anggota tubuh Adam yang dilalui ruh menjadi hidup, bergerak, berucap, bersin dan memuji Allah. Dari proses inilah muncul sejarah mistis tentang karakter manusia, sejarah salat (takbir, ruku dan sujud), dan tentang struktur ruhaniah manusia (ruh, jiwa dan raga).
Bahkan dalam al Qur'an tergambarkan ketika ruh sampai ke lutut, maka Adam sudah tergesa gesa ingin berdiri.
Sebagaimana firman Allah : "Manusia tercipta dalam ketergesa-gesaan" (Q.S.21:37).

Pada proses penciptaan anak Adam pun juga demikian, proses bersatunya ruh ke dalam badan melalui tahapan. Ketika sperma berhasil bersatu dengan ovum dalam rahim seorang ibu, maka terjadilah zygot (sel calon janin yang diploid ). Ketika itulah Allah meniupkan sebagian ruhnya (QS : 23 : 9), yaitu ruh al-hayat. Pada tahapan selanjutnya Allah menambahkan ruhnya, yaitu ruh al-hayawan, maka jadilah ia potensi untuk bergerak dan berkembang, serta tumbuh yang memang sudah ada bersama dengan masuknya ruh al-hayat.

Sedangkan tahapan selanjutnya adalah peniupan ruh yang terakhir, yaitu ketika proses penciptaan fisik manusia telah sempurna (bahkan mungkin setelah lahir). Allah meniupkan ruh al-insan (haqiqat Muhammadiyah). Maka dengan ini, manusia dapat merasa dan berpikir. Sehingga layak menerima taklif syari' (kewajiban syari'at) dari Allah dan menjadi khalifah Nya.

Itulah tiga jenis ruh dan nafs yang ada dalam diri manusia, sebagai potensi yang menjadi sudut pandang dari fokus pembahasan lathifah (kesadaran). Lima lathifah yang ada di dalam diri manusia itu adalah tingkatan kelembutan kesadaran manusia. Sehingga yang dibahas bukan hakikatnya, karena hakikat adalah urusan Tuhan (17:85), tetapi aktivitas dan karakteristiknya.

Lathifah al-qalb, bukan qalb (jantung) jasmaniah itu sendiri, tetapi suatu lathifah (kelembutan), atau kesadaran yang bersifat rubbaniyah (ketuhanan) dan ruhaniah. Walaupun demikian, ia berada dalam qalb (jantung) manusia sebagai media bereksistensi. Menurut Al Ghazall, di dalam jantung itulah memancarnya ruh manusia itu. Lathifah inilah hakikatnya manusia. Ialah yang mengetahui, dia yang bertanggung jawab, dia yang akan disiksa dan diberi pahala. Lathifah ini pula yang dimaksudkan sabda Nabi "Sesungguhnya Allah tidak akan memandang rupa dan hartamu, tetapi ia memandang hatimu".

Latifiah al-qalb bereksistensi di dalam jantung jasmani manusia, maka jantung fisik manusia ibaratnya sebagai pusat gelombang, sedangkan letak di bawah susu kiri jarak dua jari (yang dinyatakan sebagai letaknya lathifah al-qalb) adalah ibarat "channelnya". Jika seseorang ingin berhubungan dengan lathifah ini, maka ia harus berkonsentrasi pada tempat ini. Lathifah ini memiliki nur berwarna kuning yang tak terhinggakan (di luar kemampuan indera fisik).

Demikian juga dengan lathifah al-ruh, dia bukan ruh atau hakikat ruh itu sendiri. Tetapi lathifah al-ruh adalah suatu identitas yang lebih dalam dari lathifah al-qalb. Dia tidak dapat diketahui hakikatnya, tetapi dapat dirasakan adanya, dan diketahui gejala dan karakteristiknya. Lathifah ini terletak di bawah susu kanan jarak dua jari dan condong ke arah kanan. Warna cahayanya merah yang tak terhinggakan. Selain tempatnya sifat-sifat yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat bahimiyah atau sifat binatang jinak. Dengan lathifah ini pula seorang salik akan merasakan fana al-sifat (hanya sifat Allah saja yang kekal), dan tampak pada pandangan batiniah.

Lathifah al-sirri merupakan lathifah yang paling dalam, terutama bagi para sufi besar terdahulu yang kebanyakan hanya menginformasikan tentang tiga lathifah manusia, yaitu qalb, ruh dan sirr. Sufi yang pertama kali mengungkap sistem interiorisasi lathifah manusia adalah Amir Ibn Usman Al Makki (w. 904 M), yang menurutnya manusia terdiri dari empat lapisan kesadaran, yaitu raga, qalbu, ruh dan sirr. Dalam temuan Imam al Robbani al Mujaddid, lathifah ini belum merupakan latifiah yang terdalam. Ia masih berada di tengah tengah lathifah al ruhaniyat manusia. Tampaknya inilah sebabnya sehingga al Mujaddid dapat merasakan pengalaman spiritual yang lebih tinggi dari para sufi sebelumnya, seperti Abu Yazid al Bustami, al-Hallaj (309 H), dan Ibnu Arabi (637 H). Setelah ia mengalami "ittihad" dengan Tuhan, ia masih mengalami berbagai pengalaman ruhaniah, sehingga pada tataran tertinggi manusia ia merasakan sepenuhnya, bahwa abid dan ma'bud adalah berbeda, manusia adalah hamba, sedangkan Allah adalah Tuhan.

Hal yang diketahui dari lathifah ini adalah, ia memiliki nur yang berwarna putih berkilauan. Terletak di atas susu kiri jarak sekitar dua jari, berhubungan dengan hati jasmaniah (hepar). Selain lathifah ini merupakan manifestasi sifat-sifat yang baik, ia juga merupakan sarangnya sifat sabbu’iyyah atau sifat binatang buas. Dengan lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan fana' fi al-dzat, dzat Allah saja yang tampak dalam pandangan batinnya.

Lathifah al-khafi adalah lathifah al-robbaniah al-ruhaniah yang terletak lebih dalam dari lathifah al-sirri. Penggunaan istilah ini mengacu kepada hadis Nabi : "Sebaik-baik dzikir adalah khafi dan sebaik baik rizki adalah yang mencukupi". Hakikatnya merupakan rahasia Ilahiyah. Tetapi bagi para sufi, keberadaanya merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Cahayanya berwarna hitam, letaknya berada di atas susu sebelah kanan jarak dua jari condong ke kanan, berhubungan dengan limpa jasmani. Selain sebagai realitas dari nafsu yang baik, dalam lathifah ini bersemayam sifat syaithoniyyah seperti hasad, kibir (takabbur, sombong), khianat dan serakah.

Lathifah yang paling lembut dan paling dalam adalah lathifah al-akhfa. Tempatnya berada di tengah-tengah dada dan berhubungan dengan empedu jasmaniah manusia. Lathifah ini memiliki nur cahaya berwarna hijau yang tak terhinggakan. Dalam lathifah ini seseorang salik akan dapat merasakan'isyq (kerinduan) yang mendalam kepada Nabi Muhammad s.a.w. sehingga sering sering ruhaniah Nabi datang mengunjungi.
Relevan dengan pendapat al-Qusyairi yang menegaskan tentang tiga alat dalam tubuh manusia dalam upaya kontemplasi, yaitu:

Pertama qalb yang berfungsi untuk mengetahui sifat-sifat Allah.
Kedua, ruh berfungsi untuk mencintai Allah, dan
Ketiga, sirr berfungsi untuk melihat Allah.
Dengan demikian proses ma'rifat kepada Allah menurut al Qusyairi dapat digambarkan sebagai berikut dibawah ini.
Aktivitas spiritual itu mengalir di dalam kerangka makna dan fungsi rahmatan lil 'alamin; Tradisi kenabian pada hakekatnya tidak
lepas dari mission sacred, misi yang suci tentang kemanusiaan dan kealam semestaan untuk merefleksikan asma Allah.


sumber : http://www.scribd.com/doc/34517475/Tujuh-Lathifah-Simpul-Bathin

Khadijah Binti Khuwailid - Istri Rasulullah Yang Agung

Bermimpi Matahari Turun Ke Rumahnya
Dia adalah Khadijah r.a, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.

Banyak pemuka Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang dikehendakinya, namun selalu ditolaknya dengan halus kerana tak ada yang berkenan di hatinya.

Pada suatu malam ia bermimpi melihat matahari turun dari langit, masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinarnya merata kesemua tempat sehingga tiada sebuah rumah di kota Makkah yang luput dari sinarnya.

Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki yang berumur lanjut, ahli dalam mentakbirkan mimpi dan ahli tentang sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu.

Waraqah berkata: "Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman." "Nabi itu berasal dari negeri mana?" tanya Khadijah bersungguh-sungguh. "Dari kota Makkah ini!" ujar Waraqah singkat. "Dari suku mana?" "Dari suku Quraisy juga." Khadijah bertanya lebih jauh: "Dari keluarga mana?" "Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat," kata Waraqah dengan nada menghibur. Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir: "Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?" Orang tua itu mempertegas: "Namanya Muhammad SAW. Dialah bakal suamimu!"

Khadijah pulang ke rumahnya dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.

Nabi Muhammad Berniaga
Muhammad, bakal suami wanita hartawan itu, adalah seorang yatim piatu yang miskin sejak kecilnya, dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib, yang hidupnya pun serba kekurangan. Meskipun demikian, pamanya amat sayang kepadanya, menganggapnya seperti anak kandung sendiri, mendidik dan mengasuhnya sebaik-baiknya dengan adab, tingkah laku dan budi pekerti yang terpuji.

Pada suatu ketika, Abu Thalib berbincang-bincang dengan saudara perempuannya bernama 'Atiqah mengenai diri Muhammad. Beliau berkata: "Muhammad sudah pemuda dua puluh empat tahun. Semestinyalah sudah kawin. Tapi kita tak mampu mengadakan perbelanjaan, dan tidak tahu apa yang harus diperbuat."

Setelah memikirkan segala ikhtiar, 'Atiqah pun berkata: "Saudaraku, saya mendengar berita bahwa Khadijah akan memberangkatkan kafilah niaga ke negeri Syam dalam waktu dekat ini. Siapa yang berhubungan dengannya biasanya rezekinya bagus, diberkati Allah SWT. Bagaimana kalau kita pekerjakan Muhammad kepadanya? Saya kira inilah jalan untuk memperolehi nafkah, kemudian dicarikan isterinya."

Abu Thalib menyetujui saran saudara perempuannya. Dirundingkan dengan Muhammad, ia pun tidak keberatan. 'Atiqah mendatangi wanita hartawan itu, melamar pekerjaan bagi Muhammad, agar kiranya dapat diikut sertakan dalam kafilah niaga ke negeri Syam.

Khadijah, tatkala mendengar nama "Muhammad", ia berfikir dalam hatinya: "Oh... inikah takwil mimpiku sebagaimana yang diramalkan oleh Waraqah bin Naufal, bahwa ia dari suku Quraisy dan dari keluarga Bani Hasyim, dan namanya Muhammad, orang terpuji, berbudi pekerti tinggi dan nabi akhir zaman." Seketika itu juga timbullah hasrat di dalam hatinya untuk bersuamikan Muhammad, tetapi tidak dilahirkannya karena kuatir akan menjadi fitnah.

"Baiklah," ujar Khadijah kepada 'Atiqah, "saya terima Muhammad dan saya berterima kasih atas kesediaannya. Semoga Allah SWT melimpahkan berkatnya atas kita bersama.". Wajah Khadijah cerah, tersenyum sopan, menyembunyikan apa yang ada di kalbunya. Kemudian ia meneruskan: "Wahai 'Atiqah, saya tempatkan setiap orang dalam rombongan niaga dengan penghasilan tinggi, dan bagi Muhammad SAW akan diberikan lebih tinggi dari biasanya."

'Atiqah berterima kasih, ia pulang dengan perasaan gembira menemui saudaranya, menceritakan kepadanya hasil perundingannya dengan wanita hartawan dan budiman itu. Abu Thalib menyambutnya dengan gembira. Kedua saudara itu memanggil Muhammad SAW seraya berkata: "Pergilah ananda kepada Khadijah r.a, ia menerima engkau sebagai pekerjanya. Kerjakanlah tugasmu sebaik-baiknya."

Muhammad SAW menuju ke rumah wanita pengusaha itu. Sementara akan keluar dari pekarangan rumah pamannya, tiba-tiba ia mencucurkan air mata kesedihan mengenang nasibnya. Tiada yang menyaksikannya dan menyertainya dalam kesedihan hati itu selain para malaikat langit dan bumi.

Kesaksian Seorang Rahib
Tatkala kafilah niaga itu siap akan berangkat, berkatalah Maisarah, kepala rombongan: "Hai Muhammad, pakailah baju bulu itu, dan peganglah bendera kafilah. Engkau berjalan di depan, menuju ke negeri Syam!"

Muhammad SAW melaksanakan perintah. Setelah iring-iringan keluar dari halaman memasuki jalan raya, tanpa sadar Muhammad SAW menangis kembali, tiada yang melihatnya kecuali Allah dan para malaikat-Nya. Dari mulutnya terucap suara kecil: "Aduh hai nasib! dimana gerangan ayahku Abdullah, dimana gerangan ibuku Aminah. Kiranya mereka menyaksikan nasib anaknya yang miskin yatim piatu ini, yang justeru lantaran ketiadaannyalah sehingga terbawa jadi buruh upahan ke negeri jauh. Aku tidak tahu apakah aku masih akan kembali lagi ke negeri ini, tanah tumpah darahku."

Jeritan batin itu membuat para malaikat langit bersedih. Mereka memintakan rahmat baginya. Maisarah memperlakukan Muhammad SAW dengan agak istimewa, sesuai dengan wasiat Khadijah. Diberinya pakaian terhormat, kendaraan unta yang tangkas dengan segala perlengkapannya.

Perjalanan mengambil waktu beberapa hari. Terik matahari begitu panas sekali. Tetapi Muhammad SAW berjalan senantiasa dipayungi awan yang menaunginya hingga mereka berhenti di sebuah peristirahatan dekat rumah seorang Rahib Nasrani.

Muhammad SAW turun dari untanya, pergi berangin-angin melepaskan lelah di bawah pohon yang teduh. Rahib keluar dari tempat pertapaannya. Ia terheran-heran melihat gumpalan awan menaungi kafilah dari Makkah, padahal tak pernah terjadi selama ini. Ia tahu apa arti tanda itu karena pernah dibacanya di dalam Kitab Taurat.

Rahib menyiapkan suatu perjamuan bagi kafilah itu dengan maksud untuk menyiasat siapa pemilik karomah dari kalangan mereka.

Semua anggota rombongan hadir dalam majlis perjamuan itu, kecuali Muhammad SAW seorang diri yang tinggal untuk menjaga barang-barang dan kendaraan. Ketika Rahib melihat awan itu tidak bergerak, tetap di atas kafilah, bertanyalah beliau: "Apakah di antara kalian masih ada yang tidak hadir di sini?" Maisarah menjawab: "Hanya seorang yang tinggal untuk menjaga barang-barang." Rahib pergi menjemput Muhammad SAW dan terus menjabat tangannya, membawanya ke majlis perjamuan. Ketika Muhammad SAW. bergerak, Rahib memperhatikan awan itu turut bergerak pula mengikuti arah ke mana Muhammad SAW berjalan. Dan di saat Muhammad SAW masuk ke ruangan perjamuan, Rahib keluar kembali menyaksikan awan itu, dan dilihatnya awan itu tetap di atas, tidak bergerak sedikit pun walaupun dihembus angin. Maka mengertilah ia siapa gerangan yang memiliki karomah dan keutamaan itu.

Rahib masuk kembali dan mendekati Muhammad SAW, bertanya: "Hai pemuda, dari negeri mana asalmu?" "Dari Makkah". "Dari qabilah mana?" tanya sang Rahib. "Dari Quraisy, tuan!" "Dari keluarga siapa?" "Keluarga Bani Hasyim." "Siapa namamu?" "Namaku, Muhammad."

Serta merta ketika mendengar nama itu, Rahib berdiri dan terus memeluk Muhammad SAW serta menciumnya di antara kedua alisnya seraya mengucapkan: "Laa Ilaaha Illallaah, Muhammadar Rasulullah." Ia menatap wajah Muhammad SAW dengan perasaan takjub, seraya bertanya: "Sudikah engkau memperlihatkan tanda di badanmu agar jiwaku tenteram dan keyakinanku lebih mantap?" "Tanda apakah yang tuan maksudkan?" tanya Muhammad SAW. "Silakan buka bajumu supaya kulihat tanda akhir kenabian di antara kedua bahumu!"

Muhammad SAW. memperkenankannya, dimana Rahib tua itu melihat dengan jelas ciri-ciri yang dimaksudkan. "Ya... ya... tertolong, tertolong!" seru Rahib. "Pergilah ke mana hendak pergi. Engkau terus ditolong!" Rahib itu mengusap wajah Muhammad SAW, sambil menambahkan: "Hai hiasan di hari kemudian, hai pemberi syafa'at di akhirat, hai peribadi yang mulia, hai pembawa nikmat, hai nabi rahmat bagi seluruh alam!" Dengan pengakuan demikian, Rahib dari Ahlil-Kitab itu telah menjadi seorang muslim sebelum Muhammad SAW. dengan resmi menerima wahyu kerasulan dari langit.

Orang - orang Yahudi Gementar Ketakutan
Pasar dibuka beberapa hari lamanya. Semua jualan laris dengan keuntungan berlipat ganda, mengatasi pengalaman yang sudah-sudah. Kebetulan pada saat itu bertepatan dengan hari Yahudi, yang dimeriahkan dengan upacara besar-besaran.

Muhammad SAW, Abu Bakar dan Maisarah keluar menonton keramaian itu. Tatkala Muhammad SAW memasuki tempat upacara untuk menyaksikan cara mereka beribadat, maka tiba-tiba berjatuhanlah semua lilin-lilin menyala yang bergantungan pada tali di sekitar ruangan, yang menyebabkan orang - orang Yahudi gemetar ketakutan.

Seorang di antara mereka bertanya: "Alamat apakah ini?" Semuanya heran, cemas dan ketakutan. "Ini berarti ada orang asing yang hadir di sini," jawab pengerus upacara. "Kita baca dalam Taurat bahwa alamat ini akan muncul bilamana seorang lelaki bernama Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, mendatangi hari raya agama Yahudi. Mungkinkah sekarang orang itu berada di ruangan kita ini. Carilah lelaki itu, dan kalau bertemu, segeralah tangkap!"

Abu Bakar r.a, sahabat Muhammad SAW sejak dari kecil, dan Maisarah, yang mendengar berita itu segera mendekati Muhammad SAW yang berdiri agak terpisah, dan mengajaknya keluar perlahan-lahan di tengah-tengah kesibukan orang yang berdesak-desakan keluar masuk ruangan. Tanpa menunda waktu lagi, Maisarah segera memerintahkan kafilah berangkat pulang ke Makkah. Dengan demikian tertolonglah Muhammad SAW dari kejahatan orang-orang Yahudi.

Nabi Muhammad Pulang Ke Makkah
Biasanya dalam perjalanan pulang, kira-kira jarak tujuh hari mendekati Makkah, Maisarah mengirim seorang utusan kepada Khadijah r.a, memberitahukan bakal kedatangan kafilah serta perkara-perkara lain yang menyangkut perjalanan. Maisarah menawarkan kepada Muhammad SAW: "Apakah engkau bersedia diutus membawa berita ke Makkah?" Muhammad SAW berkata: "Ya, saya bersedia apabila ditugaskan".

Pemimpin rombongan mempersiapkan unta yang cepat untuk dinaiki oleh utusan yang akan berangkat terlebih dahulu ke kota Makkah. Ia pun menulis sepucuk surat memberikan kepada majikannya bahwa perniagaan kafilah yang disertai Muhammad SAW mendapat hasil laba yang sangat memuaskan, dan menceritakan pula tentang pengalaman-pengalaman aneh yang berkaitan dengan diri Muhammad SAW.

Tatkala Muhammad SAW menuntun untanya dan sudah hilang dari pandangan mata, maka Allah SWT menyampaikan wahyu kepada malaikat Jibril a.s .: "Hai Jibril, singkatkanlah bumi di bawah kaki-kaki unta Muhammad SAW! Hai Israfil, jagalah ia dari sebelah kanannya! Hai Mikail, jagalah ia dari sebelah kirinya! Hai awan, teduhilah ia di atas kepalanya!"

Kemudian Allah SWT mendatangkan kantuk kepadanya sehingga baginda SAW tertidur nyenyak dan tiba-tiba telah sampai di Makkah dalam tempoh yang cukup singkat. Saat terbangun, ia heran mendapati dirinya telah berada di pintu masuk kota kelahirannya. Baginda SAW sadar bahwa ini adalah mukjizat Tuhan kepadanya, lalu bersyukur memuji Zat Yang Maha Kuasa.

Sementara baginda SAW mengarahkan untanya menuju ke tempat Khadijah r.a, secara kebetulan Khadijah r.a pada saat itu sedang duduk sambil kepalanya keluar jendela memandangi jalan ke arah Syam, tiba-tiba dilihatnya Muhammad SAW di atas untanya dari arah bertentangan di bawah naungan awan yang bergerak perlahan-lahan di atas kepalanya.

Khadijah r.a menajamkan matanya, bimbang kalau-kalau tertipu oleh penglihatannya, sebab yang dilihatnya hanyalah Muhammad SAW sendirian tanpa rombongan, padahal telah dipesannya kepada Maisarah agar menjaganya sebaik-baik. Ia bertanya kepada wanita-wanita sahayanya yang duduk di sekitarnya: "Apakah kamu mengenali siapa pengendara yang datang itu?" sambil tangannya menunjuk ke arah jalan.

Seorang di antara mereka menjawab: "Seolah-olah Muhammad Al-Amiin, ya sayyidati!" Kegembiraan Khadijah r.a terlukis dalam ucapannya: "Kalau benar Muhammad Al-Amiin, maka kamu akan kumerdekakan bilamana ia telah sampai!"

Tak lama kemudian muncullah Muhammad SAW di depan pintu rumah wanita hartawan itu, yang langsung menyambutnya dengan tutur sapa tulus ikhlas: "Kuberikan anda unta pilihan, tunggangan khusus dengan apa yang ada di atasnya."

Muhammad SAW mengucapkan terima kasih, kemudian menyerahkan surat dari ketua rombongan. Ia minta izin pulang ke rumah Pamannya setelah melaporkan tentang perniagaan mereka ke luar negeri.

Khadijah Menawarkan Diri
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata: "Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!" Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya, Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti. Katanya: "Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu". Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban. "Oh, itukah....! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan," kata Khadijah r.a. "Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu". Ia berhenti sejenak, meneliti. Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat: "Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu". Khadijah tertunduk lalu melanjutkan: "Tetapi sayang, ada aibnya...! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu".

Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah r.a tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin (jujur). Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah r.a.

Ia minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada Pamannya: "Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah r.a. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu "anu dan anu...." Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu. 'Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: "Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya".

'Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya: "Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?"

Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati 'Atiqah: "Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya; kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati".

Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah r.a membuat 'Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. "Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal?" tanya 'Atiqah sambil meneruskan: "Kalau belum cobalah meminta persetujuannya." "Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran", Khadijah r.a berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.

'Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan 'Atiqah dengan Khadijah "Itu bagus sekali", kata Abu Thalib, "tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dulu."

Ummu Habibah - Shahabiah yang Tabah

Nama aslinya Ramlah, tapi lebih dikenal sebagai Ummu Habibah. Ia puteri seorang tokoh besar Qurays yang amat menentang dakwah Nabi, yaitu Abu Sofyan yang nama aslinya Shakhar bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syam. Ibu Ramlah adalah bibi sahabat Nabi, Utsman bin Affan ra, namanya Shafiyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syam.

Saat Muhammad diangkat Allah sebagai nabi, Ramlah baru berusia 13 tahun. Akan tetapi kepribadiannya yang kuat, kefasiha dalam berbicara dan kecantikannya membuat namanya sudah cukup dikenal. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, ia banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang amat berat.

Ramlah Menikah
Pemuda beruntung yang mempersunting Ramlah adalah Ubaidillah bin Jahsy. Berbeda dengan kebanyakan pemuda Qurays, Ubaidillah dikenal anti minuman keras dan judi. Bahkan Ubaidillah adalah pemuda yang berpegang teguh pada agama Ibrahim as, ia pantang menyembah dewa dan berhala. Tak heran, begitu mendengar ajaran Muhammad saw, Ubaidillahpun segera menyambut masuk Islam bersama Ramlah.

Ramlah Hijrah
Dapat kita bayangkan, puteri dari seorang tokoh penentang Muhammad ternyata justeru masuk Islam bersama suaminya. Maka murkalah sang ayah. Diusirlah Ramlah dan menantunya. Sejak itu, penganiayaan, pengasingan, pengusiran, bahkan pembunuhan menimpanya bertubi-tubi. Akhirnya Rasulullah saw pun berkata, "Alangkah baiknya jika kalian berangkat hijrah ke negeri Habasyah karena di sana dipimpin seorang Raja yang adil dan bijaksana. Di bawah kekuasaannya tak seorangpun boleh dianiaya. Berangkatlah sampai Allah memberikan jalan keluar bagi kita semua."

Maka berangkatlah sejumlah 80 orang lebih hijrah ke negeri yang dipimpin oleh Raja Najasyi. Di antaranya terdapat sahabat Hudzaifah beserta istrinya, Zubair bin Awwam, Mush'ab bin Umair, Abdurrahman bin Auf, dan juga Ramlah beserta suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Bahkan Ramlah hijrah dalam keadaan hamil tua. Setibanya di Habasyah, iapun melahirkan seorang puteri, diberi nama Habibah. Sejak itulah Ramlah lebih dikenal sebagai Ummu Habibah.

Panasnya gurun Sahara mereka lalui dengan jerih payah serta di bawah pengejaran kaum musyrik Qurays, Bahkan dua orang diplomat Qurays, Abdullah bin Abi Rabi'ah dan Amr bin Ash (sebelum masuk Islam) berhasil mendahului mereka, menghasut dan menyuap Raja Najasyi. Tetapi alhamdulillah, sebagaimana kata Nabi, Raja Najasyi amat adil dan bijaksana. Bahkan kelak kemudian iapun masuk Islam, dan ditunjuk Nabi sebagai wali hakim dalam pernikahannya.

Terjepit di Rantau
Malam itu, Ummu Habibah bangun dengan amat terkejut, "Aku bermimpi melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya." Benarlah kekhawatiran Ummu Habibah, karena paginya, Ubaidillah tiba-tiba berkata, "Hai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani. Ketahuilah, kini aku masuk Nasrani!" Tidak hanya itu, Ubaidillah kemudian menjadi pemabuk berat juga gemar berjudi. Bahkan Ummu Habibah diultimatum, tetap jadi isteri tapi harus murtad atau cerai saat itu juga.

Kini Ummu Habibah sebatang kara di negeri rantau. Hendak kembali ke Makkah, justeru ayahnya adalah dedengkot musuh Nabi. Terpukul hatinya, karena suaminya justeru murtad dan menjadi pemabuk dan penjudi. Bahkan sampai matinyapun belum bertaubat.

Menikah Berwalikan Raja
Selepas masa iddahnya, pagi itu, Ummu Habibah kedatangan seorang tamu. "Namaku Abrahah. Aku adalah pelayan wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian Raja Najasyi. Kedatanganku kemari adalah atas perintah Raja, Rasulullah saw mengirim surat, isinya, melamarmu untuk dijadikan isteri Nabi."

Allahu Akbar. Ummu Habibah yang tabah menghadapi suami dan ayahandanya, kini dipersunting Nabi. Ummu Habibahpun kini menjadi Ummul Mukminin, ibunya selurh kaum mukminin.

sumber : http://kisahsahabatnabimohammad.blogspot.com/

Ummu Salamah ra

Lembaran sejarah hijrah Ummat Islam ke Madinah, barangkali tidak bisa melupakan torehan tinta seorang ibu dengan putrinya yang masih balita.

Keduanya, hanya dengan mengendarai unta dan tidak ada seorang lelakipun yang menemaninya, meski kemudian ditengah jalan ada orang yang iba dan kemudian mengantarnya, berani menembus kegelapan malam, melewati teriknya siang dan melawan ganasnya padang sahara, mengarungi perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, kurang lebih 400 km. Dialah Salamah dan ibunya, Hindun bin Abi Umayyah atau sejarah lebih sering menyebutnya dengan Ummu Salamah.

Ummu Salamah adalah putri dari pemuka kaum kaya dibani Mughirah, Abi Umayyah. Parasnya jelita dan ia adalah seorang yang cerdas. Setelah menginjak usia remaja ia dinikahkan dengan Abdullah bin Abdul Asad Al-Makhzumi. Lalu keduanya berkat hidayah Allah SWT menyatakan keislamannya.

Ketika kaum Muslimin berhijrah ke Madinah, keduanya ikut pula di dalamnya, meski tidak dalam waktu yang bersamaan. Abdullah (Abu Salamah) berangkat terlebih dahulu, setelah itu Ummu Salamah menyusul seorang diri dengan anaknya. Lalu mulailah mereka berdua menjalani kehidupannya bersama anak-anaknya di kota Madinah tercinta.

Tapi tak lama kemudian Abu Salamah akibat luka yang dideritanya semenjak perang Uhud meninggal dunia. Akhirnya Ummu Salamahpun seorang diri mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Kemudian datanglah Abu Bakar ra untuk melamarnya, juga Umar bin Khattab ra. Namun dengan lemah lembut kedua lamaran tersebut ia kembalikan.

Setelah itu datang pula utusan Rasulullah SAW untuk meminangnya. Ummu Salamahpun menolaknya dengan berbagai pertimbangan. Namun setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah SAW akhirnya ia menerima lamaran tersebut.

Di antara para istri Rasulullah SAW, Ummu Salamah adalah istri yang tertua. Dan untuk menghormatinya, Rasulullah SAW sebagaimana kebiasaannya sehabis sholat Ashar, beliau mengunjungi istri-istrinya maka beliau memulainya dengan Ummu Salamah ra dan mengakhirinya dengan Aisyah ra.

Ummu Salamah wafat pada usia 84 th, bulan Dzul-Qo'dah, tahun 59 Hijrah atau 62 Hijrah dan dikebumikan di Baqi'.

Wallahu a'lam bish-Showab.



sumber : http://kisahsahabatnabimohammad.blogspot.com/

Zainab Binti Jahsy Bin Ri`ab R.A

Istri Nabi Yang Paling Banyak Sedekahnya

Zainab binti Jahsy adalah putri dari bibi Rasulullah yang bernama Umaymah binti Abdul Muthalib bin Hasyim. Zainab adalah seorang wanita yang cantik jelita dari kaum bangsawan yang terhormat. Dipandang dari ayahnya, Zainab adalah keturunan suku Faras yang berdarah bangsawan tinggi.
Ia dinikahkan Rasulullah dengan anak angkat kesayangannya Zaid bin Haritsah. Tetapi pernikahan itu tidak berlangsung lama, mereka akhirnya bercerai. Kemudian Allah memerintahkan Nabi Muhammad S.A.W untuk menikahi Zainab. "Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu`min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adapun ketetapan Allah itu pasti terjadi." (QS Al-Ahzab[33]:37)
Bukhori meriwayatkan dari Anas, Zainab sering berkata, "Aku berbeda dari istri-istri Rasulullah S.A.W yang lainnya. Mereka dikawinkan oleh ayahnya, atau saudaranya, atau keluarganya, tetapi aku dikawinkan Allah dari langit."
Zainab adalah seorang wanita berhati lembut dan penuh kasih sayang, suka menolong fakir miskin dan kaum lemah. Dia senang sekali memberi sedekah, terutama kepada anak yatim.
Rasulullah pernah bersabda kepada istrinya, "Yang paling dahulu menyusulku kelak adalah yang paling murah tangannya." Maka berlomba-lombalah istri beliau memberikan sedekah kepada fakir miskin. Namun tak ada yang bisa mengalahkan Zainab dalam memberikan sedekah. Dari Aisyah r.a berkata, "Zainab binti Jahsy adalah seorang dari istri-istri Nabi yang aku muliakan. Allah S.W.T menjaganya dengan ketaqwaan dan saya belum pernah melihat wanita yang lebih baik dan lebih banyak sedekahnya dan selalu menyambung silaturahmi dan selalu mendekatkan dirinya kepada Allah selain Zainab."
Mengapa ?, apakah karena Rasulullah memberikan belanja yang berlebih terhadap Zainab ? Tidak, Rasulullah S.A.W tidak pernah berbuat seperti itu. Lalu dari manakah Zainab mendapatkan uang untuk sedekah ? Ia memiliki berbagai macam keahlian. Ia bisa menyamak kulit, memintal serta menenun kain sutra, hasilnya dijual dan disedekahkan. Hal itulah yang menyebabkan wanita cantik istri Rasulullah ini bersedekah lebih banyak dari yang lainnya.
Setelah Rasulullah wafat, Zainab memperbanyak usahanya, agar bisa melipat gandakan uang yang diterimanya. Ketika ia mendapat bagian harta dari Baitul Mal dimasa kholifah Umar r.a dia berdoa, "Ya Allah janganlah harta ini penyebab fitnah." Segera ia bagikan harta itu kepada yatim piatu dan fakir miskin. Mendengar itu Umar r.a mengirim lagi, tetapi Zainab membagi - bagikannya lagi kepada yatim piatu dan fakir miskin. Wanita pemurah itu wafat pada tahun 44 H pada masa Kholifah Muawiyah. Wallahu a`lam.

sumber http://kisahsahabatnabimohammad.blogspot.com/

JANGAN MENYIA-NYIAKAN AMANAT

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (BUKHARI - 6015)

Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Amanah yang paling pertama dan utama bagi manusia ialah amanah ketaatan kepada Allah, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta dengan segenap isinya. Manusia hadir ke muka bumi ini telah diserahkan amanah untuk berperan sebagai khalifah yang diwajibkan membangun dan memelihara kehidupan di dunia berdasarkan aturan dan hukum Yang Memberi Amanah, yaitu Allah subhaanahu wa ta’aala.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”(QS Al-Ahzab 72)
Amanat ketaatan ini sedemikian beratnya sehingga makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung saja enggan memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian ketika ditawarkan kepada manusia, amanat itu diterima. Sehingga dengan pedas Allah ta’aala berfirman: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” Sungguh benarlah Allah ta’aala...! Manusia pada umumnya amat zalim dan amat bodoh. Sebab tidak sedikit manusia yang dengan terang-terangan mengkhianati amanat ketaatan tersebut. Tidak sedikit manusia yang mengaku beriman tetapi tatkala memiliki wewenang kepemimpinan mengabaikan aturan dan hukum Allah ta’aala. Mereka lebih yakin akan hukum buatan manusia –yang amat zalim dan amat bodoh itu- daripada hukum Allah ta’aala. Oleh karenanya Allah hanya menawarkan dua pilihan dalam masalah hukum. Taat kepada hukum Allah atau hukum jahiliah? Tidak ada pilihan ketiga. Misalnya kombinasi antara hukum Allah dengan hukum jahiliah.

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)

“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah 49)
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa Allah mengancam bakal terjadinya musibah bila suatu kaum berpaling dari hukum Allah. Dan tampaknya sudah terlalu banyak dosa yang dilakukan ummat yang mengaku beriman di negeri ini sehingga musibah yang terjadi harus berlangsung beruntun. Dan dari sekian banyak dosa ialah tentunya dosa berkhianat dari amanah ketaatan kepada Allah ta’aala. Tidak saja sembarang muslim di negeri ini yang mengabaikan aturan dan hukum Allah, tetapi bahkan mereka yang dikenal sebagai Ulama, Ustadz, aktifis da’wah dan para muballigh-pun turut membiarkan berlakunya hukum selain hukum Allah. Hanya sedikit dari kalangan ini yang memperingatkan ummat akan bahaya mengabaikan hukum Allah.

Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."

sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit

KEUTAMAAN SHOLAT DHUHA

Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut :

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda
"Bagi masing-masing ruas[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha". Diriwayatkan oleh Muslim[2]

Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman.
"Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku mencukupimu di akhir siang" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, dia berkata :"Tidak ada yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab)". Dan dia mengatakan, "Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabin)". Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. [4]


Waktu Shalat Dhuha

Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.
Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut adalah ; "Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat".

Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu 'anhu, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka'at [7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya" [8]

Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama'ah di masjid, lalu dia tetap berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah, sama persis (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya".
Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.
"Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah, kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…" Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[9]

Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan shalat Dhuha (pagi).
Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat Dhuha. Lalu dia berkata "Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. "Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika anak-anak unta sudah merasa kepanasan"[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]

Jumlah Rekaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya

Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua, empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.

Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.
Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat shalat Dhuha" Diriwayatkan oleh Muslim.[12]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh Abu Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu 'anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman :"Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku akan mencukupimu di akhir siang" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu : "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat" Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu Hani, di mana dia bercerita :"Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas tempat tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak menuju tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya, Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat" [15] Diriwayatkan Asy-Syaikhani. [16]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits Abud Darda Radhiyallahu 'anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya" Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]

Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan kemutlakan yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha saat ditanya oleh Mu'adzah :"Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhua?" Dia menjawab : "Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak Allah" [18]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan oleh keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Shalat malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat" [19]
Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Ruku'lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat". Dan juga seperti sabda beliau :"Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah"

Wallahu a'lam

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i]

Foote Note :
[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233

[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka'aatin wa Ausathuha Arba'u Raka'aatin au Sittin wal Hatstsu 'alal Muhaafazhati 'alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga kitab, Jami'ul Ushuul (IX/436)

[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440 dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan : 'Hasan gharib" Dan dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami'ul Ushuul (IX/4370.

[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma'ul Bahrain) tanpa ucapan :"Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabiin)".
Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).

[7]. Ath-Thibi mengatakan : "Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)
Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq sebelumnya.

[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba'da Shalaatish Shubhi Hatta Taathlu'a Asy-Syams
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :"Hasan gharib". Dengan beberapa syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab Jaami'ul Ushuul (IX/401).
Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.

[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu'jamul Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)
Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib (I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu'uz Zawaa'id (X/104)

[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan : Ar-Ramdhaa' berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu, ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang masih kecil". Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)

[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits no. 748.

[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya

[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya

[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa'il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156). Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil (II/216).

[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa
shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab, Zaadul Ma'ad (III/4100 dan juga Aunul Ma'buud (I/497)

[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no. 1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan lihat juga kitab Jaami'ul Ushuul (VI/110).

[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma'uz Zawaa'id (II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya'qub Az-Zam'i. Dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu'in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha'if oleh Ibnul Madini dan lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya'qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu 'anhuma dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).

[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak'ataani wa Akmalaha Tsamaanu Rak'atin wa Ausathuha Arba'u Rak'atin au Sittin wa Hatstsu 'alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).

[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya
Peringatan.
Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh : "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat'. Dan hadits Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan lafazh ini.
Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh Dhuha (hadits no. 1234, II/234).
Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu Hatim mengatakan :"Dia bukan seorang yang kuat". Dan Ibnu Hibban menyebutnya di dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan : "Darinya, Wahb bin Abdillah meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan". Yahya bin Ma'in mengatakan :"Dia seorang yang haditsnya dha'if". Abu Shalih mengatakan ;"Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di dalam haditsnya terdapat sesuatu" Al-Bukhari mengatakan : "Haditsnya munkar" Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).
Dapat saya katakan, haditsnya di sini diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, darinya. Yang tampak secara lahiriyah dari keadaan orang ini, bahwa dia tidak dimungkinkan untuk meriwayatkan seorang diri, sedangkan lafazh ini dia riwayatkan sendiri. Wallahu a'lam
Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha'if (lemah) oleh Al-Albani di dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya, dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal. 258-259)



sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2357/slash/0


Beberapa Akhlak Para Rasul

Allah berfirman: "Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah)" (Huud: 75)
Keterangan dan kandungan ayat:
Allah memberitakan tentang sifat-sifat Nabi Ibrahim alaihissalam bahwa dia:
Penyantun, yaitu; pemilik akhlak yang baik, lapang dada, dan tidak marah apabila mendapat perlakuan buruk/jahat dari orang yang bodoh.
Awwah, yaitu; menghiba atau memohon seraya merendahkan diri kepada Allah di setiap waktu.
Munib, yaitu selalu kembali kepada Allah dengan mengenali-Nya, mencintai-Nya, menghadap kepada-Nya dan berpaling dari yang lain.
Lihat Tafsir Ibnu Sa'di, halaman 342 (cetakan Luwaihiq)
Ibnul Qayyim mengatakan: Orang yang kembali kepada Allah adalah yang cepat-cepat mencari keridaan-Nya, kembali kepada-Nya di setiap waktu, dan menghampiri kecintaan-Nya.
Selanjutnya kembali kepada Allah mengandung empat hal:
Cinta kepada Allah, tunduk kepada Allah, menghampiri-Nya, dan berpaling dari yang lain-Nya.
Dari itu seseorang tidak dinamakan al-Munib (orang yang kembali kepada Allah) jika tidak mempunyai empat sifat itu.
Lihat Madarijus Salikin, jilid 1, halaman 457, cetakan Darul Kutub Ilmiah.

sumber : http://www.qurancomplex.org/Magazine/default.asp?L=ind&notMenu=false&nAyaID=18